Tempat Tinggal Semasa Kecil

Sepanjang tahun 2016-2017 adalah tahun-tahun terberat dimana harus ‘say goodbye’ to my childhood place. Percaya gak percaya harus ninggalin komplek perumahan karena digusur. Denger kata gusuran aja cukup sedih, ini yang digusur rumah masa kecil. Kebayang kan ya? Udah kepalang sayang soalnya.

Dulu sempet punya cita-cita kalau pengen ngasih tau anak-anak saya kelak tempat tinggal ibunya dulu. Kebetulan sekolah TK-SD, tempat main, pantai, sarana olahraga (lapangan bola, lapangan tenis, lapangan voli, lapangan basket) ada didalam komplek semua. Komplek tempat saya tinggal itu sudah super komplit karena apa saja ada. Gimana gak cinta yekhan~, ya walaupun memang tidak terjangkau dari kota means sangat pelosok tapi daerahnya sangat nyaman.

Sewaktu SD, setiap sabtu-minggu paling enggak seminggu sekali mandi di laut. Pantainya masih bersih dan privat untuk warga komplek. Sarana olahraga yang lengkap. Sekolah tinggal jalan 5 menit sampai. Tetangga yang sudah seperti keluarga, sangat harmonis. Masjid komplek yang tidak terlalu besar tapi selalu memiliki kegiatan yang rutin untuk warga komplek. Istilahnya sih disini dapet keluarga sekaligus saling mengingatkan dalam beribadah.

IMG_0163Komplek atas: jogging track setiap pagi

Sejujurnya, saya cukup singkat tinggal disini karena sejak SMP sudah moving ke Solo untuk bersekolah di Pondok Assalaam lalu dilanjutkan dengan kuliah di Semarang lalu Yogya. Tapi walau bagaimanapun kita pergi jauh, tetap rindu ya sama rumah. Saya pun begitu. Jadi begitu Ibu bilang kalau komplek akan digusur itu, rasanya sedih bukan main. Ada perasaan “ah paling gak jadi”, “ah isu doang, gak mungkin”.

Gak kebayang akan ada hari dimana saya meninggalkan rumah masa kecil saya. Saya pikir, besok ketika saya sudah berkeluarga dan tinggal jauh, komplek ini akan menjadi tempat saya mudik. Tapi cuma jadi mimpi saja ternyata.

Alasan kenapa komplek saya digusur karena akan ada perluasan PLTU di Suralaya. Untuk target pemerintah dalam menambah daya listrik, PLN melakukan ekspansi mencari lahan untuk penambahan PLTU baru. Komplek perumahan saya awalnya memang hak milik PLN akan tetapi sejak tahun 2000an, penghuni rumah diperbolehkan membeli tanah dan bangunan untuk menjadi hak miliknya. Dalam rangka penggusuran ini, sebagai warga komplek, tanah dan bangunan kita memang dihargai dan dibayar tetapi kenangan yang kita miliki tidak setara dengan uang. Itulah kenapa, rasanya berat.

IMG_0139
sebelum diratakan dengan tanah (before)

IMG_9196
proses perataan dengan tanah (after)

Cukup banyak kenangan disini, tidak hanya bagi saya tapi semuanya merasakan hal yang sama. Warga yang sebagian besar pensiunan, sudah merasa nyaman dan merasa akan menghabiskan hari tua dikomplek ini. Tidak terbayang bagaimana rasanya tiba-tiba mendengar kabar penggusuran. Banyak yang protes dan kecewa, jelas sekali. Hal wajar karena selama hidup disini kita seperti keluarga. Bagaimana rasanya dipisahkan dengan keluarga sendiri dan harus memulai hidup di lingkungan baru lagi? Bukan pilihan yang mudah kan..

Tempat tinggal semasa kecil saya sudah rata dengan tanah sekarang. Benar memang jika ada pepatah yang bilang bahwa kenangan itu tidak bisa dihargai bahkan dengan waktu sekalipun. Kenangan itu akan terus hidup dalam diri kita dan akan membentuk bagaimana kita dimasa depan. Selalu aku kangenin deh.

IMG_9348

Literally saying goodbye to my childhood memories. Home, friends, neighbours, school, playing area, beach across the road and so many things left behind. Thank you for 26years ❤️

 

 

 

 

Leave a comment